B. Indonesia

Pertanyaan

tolong tuliskan / foto teks 'ibuku sekuntum Cempaka dari kepur' yang ada di buku paket kelas 9.

1 Jawaban

  • Aku mengangguk. Sejak mendengar ibuku menangis tengah malam, gara-gara Nenek tidak menyukainya di rumah ini, tindakanku selalu ragu-ragu. Aku takut dimarahi Nenek. Belakangan ini Nenekku sangat cerewet. Seolah-olah beliau menghendaki kami segera meninggalkan rumah limas besar. Nenek tidak mau diganggu.
    “Maman, kau belum mengambil keranjang rotan yang tergantung itu?” Aku menggeleng. “Ambil kursi !”Aku berlari ke arah kursi setelah memahami maksudnya. Ia menyuruhku mengambil keranjang rotan. Nenek tidak lagi mau menolongku. Dengan susah payah aku menyeret kursi berukir dekat meja makan ke bawah keranjang rotan.
    “Hati-hati, Maman, nanti lecet kursi antikku !” pekik Nenek.Aku menoleh dan melihat muka Nenek tidak manis, justru masam.Mengapa Nenek memusuhi aku? Apakah kesalahanku selama ini? Hatiku menjadi sedih. Saat itu aku ingin sekali dekat dengan Ibu.Lepas magrib Ibu dan Ayah pulang dari sawah Nenek dan Kakek. Keduanya membantu mengolah sawah tanpa mendapat bagian padi. Hal ini termasuk kewajiban anak dan menantu di dalam keluarga.“Kau sudah makan, Maman?” tanya Ibu begitu tiba di rumah. “Belum, Bu.”
    “Belum? Mengapa?“Nenek tidak mau menolang mengambilkan keranjang. Aku sendiri tidak dapat menjangkau tempat makanku. Nenek menyuruhku menggunakan kursi antiknya, tetapi aku tidak boleh menyeret benda mahal itu. Kata Nenek, kursi antiknya tidak boleh lecet.”“Tak apa-apa, Nenekmu sedang sakit, Nak.”
    Sekali lagi ibuku memaafkan tindakan Nenek meskipun mengetahui buah hatinya kelaparan sejak pukul 6 pagi sampai lepas magrib.Ibu memelukku kuat-kuat sambil membisikkan kata-kata manis untuk menghibur hatiku yang tersinggung. “man, jangan kau ceritakan pada Ayahmu kejadian yang ada di rumah hari ini, ya sayang?”“Mengapa, Bu?”
    “Kasihan Ayahmu lelah di sawah. Jangan kau susahkan hatinya. Kita tidak boleh menambah berat bebannya.”“Buuu …,” Aku tidak melanjutkan kalimatku.“Hmmm, apa, Nak?”“Oh, tidak, Bu, tak apa-apa.”Keesokan harinya, usai salat subuh kudengar orang bertengkar di paun. Yang disebut paun oleh penduduk dusun Tanjung Serian ialah seluruh ruangan yang ada di sekitar dapur. Aku berlari ke pintu tengah, antara ruang besar dan paun. Kulihat Nenek berkacak pinggang sedang memberondong Ayah dengan kata-kata pedas dan kasar.“Keluarkan keranjang jati dari kamar yang kalian tunggu !”“Baik sekarang juga akan aku keluarkan.”Ayah sedang bergegas menuju kamar yang mereka tunggu. Ibu terkejut.“Ada apa, Abang?”“Mak meminta ranjang jati ini, Rum.”“Oh ya, kasihkan saja, Bang.” Suara Ibu tetap tenang.Aku tidak melihat suatu perubahan pada air mukanya. Ucapannya sesuai dengan kata hatinya.Nenek menuju kamar yang di tempati ayah dan ibu. Sambil berkacak pinggang dia membentak. “Segera keluarkan ranjang jati itu !”Hari itu kakek sedang ke kota Palembang menemui sahabatnya, seorang pedagang tembakau yang kaya raya. Mereka akan bekerja sama mendirikan perusahaan angkutan.Ayah membongkar ranjang jati yang mereka pakai sejak menikah 10 tahun yang lalu. Aku pun lahir diranjang itu. Ibu melipat selimut dan kain seprei tanpa rasa masgul, tanpa sakit hati, karena ranjang itu yang bagus itu memang bukan kepunyaan ibu dan ayah.
    “Kakek kan baik pada Ibu.”“Semua isi rumah ini baik pada kita, Nak.”“Nenek?”“Nenek pun baik.”“Nenek …, baik. Bu?” desakku.“Memang baik, Man.”Aku tegang. Dimana pun berada ibuku tidak pernah menjelek-jelekan mertuanya.

Pertanyaan Lainnya